“Pendidikan bagi Masa Depan yang Berkelanjutan” 

Pusat Pendidikan lingkungan hidup bali

Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali PPLH Bali adalah Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat. Merupakan pengembangan dari PPLH Seloliman yang berdiri sejak tahun 1990. PPLH Bali dirintis sejak tahun 1997 setelah PPLH Puntondo – Makassar. Pendiri PPLH adalah Bapak drh. Suryo W. Prawiroatmodjo dan Hans Ulrich Fuhrke. PPLH Bali berbadan hukum dalam bentuk Yayasan.

VISI Kami

“Terwujudnya masyarakat sejahtera dengan pengelolaan lingkungan yang arif dan berkelanjutan”. 

ARTIKEL 


SIAPKAH BALI DIGEMPUR KENDARAAN BERMOTOR LISTRIK BERBASIS BATERAI SECARA MASAL?

 

Menyusul Jakarta, saat ini Provinsi Bali tengah gencar mendukung transisi energi dengan mengimplementasikan penggunaan kendaraan listrik. Hal ini didukung dengan adanya Peraturan Gubernur Bali No. 48 Tahun 2019 Tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) yang melakukan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil di kawasan pariwisata, perkantoran, maupun tempat suci. Sayangnya KBLBB yang diklaim oleh produsen motor listrik tidak mengeluarkan emisi (zero emission), tidak serta merta menghilangkan resiko dampak lingkungan.

Baterai sebagai sumber energi utama dari motor listrik memiliki masa pemakaian yang akan menjadi sampah ketika tidak berfungsi lagi dan tidak dikelola dengan baik. Satu motor listrik setidaknya memerlukan 200 sel baterai lithium untuk membuat sebuah rangkaian baterai motor listrik. Saat ini produsen baterai kendaraan listrik memberikan masa garansi selama 1-3 tahun pada baterai yang mereka produksi, sehingga dalam 3 tahun mendatang akan banyak baterai kendaraan listrik yang rusak dan memerlukan penanganan khusus agar tidak berakhir di TPA dan mencemari lingkungan.

Menilik hasil riset sampah baterai kendaraan listrik dan B3 rumah tangga lainnya yang dilakukan oleh PPLH Bali bersama dengan WRI Indonesia pada bulan April hingga Juni 2022 dengan studi kasus di Desa Adat Kerobokan dan Desa Peliatan, Ubud. Jangankan baterai kendaraan listrik, baterai-baterai primer seperti baterai remote maupun jam yang beredar saat ini pun belum terkelola secara maksimal. Kondisi di masyarakat Desa Adat Kerobokan (49%) maupun Desa Peliatan (16%) masih membuang sampah baterai mereka ke TPA, dibawa oleh petugas angkut (20% masyarakat Desa Adat Kerobokan dan 37% masyarakat Desa Peliatan), maupun disimpan saja tanpa dikelola (5% masyarakat Desa Adat Kerobokan dan 14% masyarakat Desa Peliatan).

Baterai merupakan sampah spesifik yang mengandung B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) sehingga memerlukan penanganan khusus dan harusnya tidak dibuang sembarangan seperti yang terjadi selama ini. Pada Baterai primer terdapat unsur zinc, serbuk karbon, campuran MnO2 (mangan dioksida), dan NH4Cl (ammonium klorida), sedangkan pada baterai sekunder atau baterai yang dapat diisi ulang mengandung lithium, cadmium, nikel, alkalin (kalium hidroksida), mangan, kobalt, tembaga, dan karbon. Kesalahan dalam pengelolaan baterai primer maupun baterai kendaraan listrik dapat menimbulkan dampak lingkungan maupun kesehatan. Jika terhirup, kandungan baterai dapat menyebabkan penyakit seperti gangguan pernapasan, gangguan otak, bahkan impotensi, termasuk juga gangguan kehamilan dan janin pada perempuan, tekanan darah tinggi, kerusakan ginjal, kehilangan sel darah merah, gangguan lambung serta kerapuhan tulang.

Saat ini secara umum Bali belum memiliki tempat pengolahan sampah spesifik yang mengandung B3 khususnya baterai. Meski telah terdapat fasilitas berupa drop box (kotak penampung) seperti di TPS LB3 Kabupaten Badung, namun penggunaanya belum berfungsi secara maksimal. Sedangkan di kabupaten/kota lain belum terdapat fasilitas yang memadai bahkan anggaran pengelolaan limbah B3 masih sangat rendah. Di Bali, sampah spesifik masih di bawa ke pulau Jawa dengan biaya pengangkutan yang tidaklah murah. Satu kali angkut minimal memerlukan dana sebesar Rp 7.500.000,- dengan rata-rata pengiriman ke Jawa tiap 6 bulan – 1 tahun sekali.
Penggunaan kendaraan bermotor listrik memang baik karena tidak menimbulkan polusi udara. Namun produsen baterai dan kendaraan listrik serta pemerintah harus menyiapkan strategi dalam pengelolaan limbah kendaraan listrik dengan matang. Sudah banyak rujukan regulasi persampahan dan limbah B3 sehingga perlu sikap kehati-hatian agar tidak terjadi permasalahan baru seperti menumpuknya sampah baterai kendaraan listrik pada TPA dikemudian hari yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan lingkungan. 
 
Penulis : Ni Made Diyah Darma Yanti

Partner

Subscribe email untuk mendapatkan informasi terbaru dari kami

 *