“PPLH Bali memiliki target sasaran utama adalah generasi muda. Karena kami merasa kalian adalah agen-agen perubahan. Jadi, melestarikan bumi ada di tangan kalian. Supaya kalian bisa hidup berkelanjutan. Sampah sebetulnya berkaitan dengan hidup kita. Sampah berkontribusi dengan pemanasan global. Supaya Gen Z nggak dikira bisa ngomong doang. Mari kita punya aksi. Setelah punya aksi, mari kita sebarkan ke teman-teman yang lain. Jangan dibawa sendiri. Untuk melakukan perubahan, semua diajak”, seru Direktur PPLH Bali, Catur Yudha Hariani sebagai pengantar anak-anak sebelum berangkat ke TPA Suwung dalam serangkaian acara Youth Zero Waste Bootcamp.
Ditemani kudapan ubi kukus dan tahu isi, 29 peserta yang berasal dari 15 SMA/SMK se-Kota Denpasar bertemu untuk pertama kalinya dan saling mengakrabkan diri. Tak lama, mereka membagi diri menjadi lima kelompok dengan ditemani seorang fasilitator untuk masing-masing kelompok. Agenda pada hari pertama adalah berkunjung ke TPA Suwung. Bukan kunjungan biasa, anak-anak diberi tanggung jawab untuk melakukan observasi sekaligus wawancara dengan orang di sekitar TPA Suwung terkait aspek lingkungan, ekonomi, sosial budaya, kesehatan dan teknologi & inovasi. Sepulang dari TPA setiap kelompok harus menyiapkan cerita kunjungannya sekaligus memberikan rekomendasi.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gunung itu bernama sampah
Setelah 27 menit perjalanan dari PPLH Bali, anak-anak langsung diterima di ruang rapat UPTD TPA Suwung. Berdiskusi dengan para staf lapangan setempat di antaranya Bapak Bambang, Ibu Dayu dan Bapak Putu, anak-anak dibuat kaget dengan fakta adanya sampah setinggi kurang lebih 30 m2 pada lahan TPA yang luasnya 3,46 hektar. Selain itu, anak-anak diperkenalkan dengan dua peraturan pemerintah. Peraturan Gubernur Bali No. 97 Tentang Pembatasan Timbulan Plastik Sekali Pakai dan Peraturan Gubernur Bali No. 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Intinya, mengajak anak-anak mengurangi plastik sekali pakai dan memilah sampah di lingkungan rumah dan sekolah. Hanya sampah residu saja dibawa ke TPA karena sudah overload dan perlu segera ditutup.
Tak butuh waktu lama dalam ruangan, anak-anak pun diajak menapakan kakinya di kawasan TPA Suwung sesuai kelompoknya. Ketika keluar ruangan bau menyengat sampah tidak bisa dihindari dan tampak sampah yang menggunung. Setiap perjalanan anak-anak tetap harus waspada karena tidak henti lalu lalang kendaraan truk, pick up berasal dari kota Denpasar dan sebagian dari kabupaten Badung masuk ke TPA untuk membuang sampah. Terbayang sudah bahwa itu adalah sampah kita semua yang enggan memilah dari rumah dan memasrahkan semua pada petugas dan pemerintah.
Berkesempatan mengikuti kelompok kesehatan masyarakat, rupanya anak-anak menjatuhkan pilihan pertama mendekati penjual starling. Berlanjut, ke pedagang tendaan, pengangkut sampah, dan pemulung. Kontrasnya kondisi lingkungan yang kotor dan rentan penularan penyakit dengan hadirnya penjaja makanan dan minuman di sana, membuat adanya rasa penasaran di benak mereka. Sejumlah pertanyaan dilontarkan mulai dari lama bekerja, keluhan kesehatan yang dirasakan, pengaturan keselamatan kerja hingga bantuan layanan kesehatan. Sayangnya, tak menuai jawaban yang memuaskan bagi mereka. Tak disangka, para pekerja di TPA minim mengalami keluhan kesehatan. Sebatas kepanasan karena cuaca dan sakit gigi yang dirasakan. Padahal ada yang mencapai 10 tahun bekerja di sana. Jangan-jangan mereka sudah imun dengan keadaan ya?
Sementara dari kejauhan terlihat kelompok lain yang masih asyik melakukan wawancara dengan para pemulung dan petugas di TPA. Kelompok teknologi rupanya kelompok terakhir yang terlambat kumpul karena perjalanan kunjungannya agak jauh sehingga menggunakan kendaraan untuk melihat pengelolaan limbah. Di sana ada sebuah bangunan yang menampung air licit yang dihasilkan sampah di seluruh TPA. Pembangunan instalasi pengelolaan air licit atau juga dikenal dengan air lindi diolah, sehingga lindi tersebut tidak mencemari lingkungan sekitar termasuk laut. Sebelum dibangun instalasi pengelolaan limbah ini diceritakan banyak tanaman mangrove sekitar TPA mati.
Tepat pukul 12.00 WITA, seluruh peserta sudah tiba di kantor PPLH untuk menyantap makan siang bersama. Usai memadamkan kelaparan dengan prasmanan makanan rumahan yang bermacam-macam lauknya, anak-anak kumpul kembali ke ruangan untuk mengisi pre test pada sesi Zero Waste Cities. Mayoritas peserta mulai punya pengetahuan soal pengelolaan sampah berbasis sumber yang tercermin dari bagaimana mereka merespon pertanyaan. Pada pertanyaan seperti sumber sampah, kebutuhan memilah sampah dan alasannya dibaliknya, respon teratas adalah manusia menjadi sumber masalah sehingga perlu memilah sampah karena khawatir menumpuk dan mencemari nantinya.
Setelah pre test Gungtik dan Girindra selaku narasumber dari PPLH Bali, menjelaskan apa itu zero waste cities, tahapan pelaksanaannya, pentingnya pemilahan, perbedaan sampah dengan material sampai dengan bagaimana menggaet masyarakat di kawasan daratan dan pulau untuk mulai membangun sistem pengelolaan sampahnya. Suasana penyampaian materi ini tentu tidak kaku karena berlangsung dua arah. Anak-anak punya kesempatan bertanya hal-hal yang membuat mereka penasaran. “Kenapa sih produsen sulit buat barang yang awet dan tidak sekali pakai, Kak?”, tanya Fiqi asal SMAN 5 Denpasar kritis. Pertanyaan lainnya muncul dari Gung Is asal SMAN 8 Denpasar. Sebagai remaja yang merawat kulit, dirinya ingin lebih berkesadaran dengan mengelola sampah skincare bekas pakainya. “Gimana ya kelola wadah skincare kita?”, tanyanya. Semua pertanyaan ditanggapi oleh Gung Tik dan Girindra tanpa terlewati untuk meningkatkan pengetahuan penanya dan peserta lainnya.
Membaca kondisi TPST & TPA terkini di Bali
Youth Zero Waste Bootcamp hari kedua diawali dengan mengikuti diskusi publik bertajuk “Efektivitas dan Dampak Pembangunan TPST di Bali” berlokasi di Taman Baca Kesiman. Diskusi publik ini telah menghadirkan narasumber masyarakat yang terkena dampak, pemerintah desa, LSM dan investor pengelola sampah di TPST. Tujuan acara ini untuk saling mendengar apa sebenarnya terjadi pada posisi masing-masing terhadap pengelolaan sampah dengan adanya teknologi baru. Acara dimulai dengan penayangan video TPST Samtaku di Jimbaran. Terlihat ada wawancara dengan warga sekitar bagaimana mereka menerima dampak kesehatan dari asap pembakaran plastik campur yang digunakan untuk RDF (Refused Derived Fuel).
Sayangnya, dari pihak Samtaku atau warga tidak hadir untuk memberikan klarifikasi dalam pertemuan ini. Menarik lagi adalah cerita dari Pak Oka warga Banjar Biaung Desa Kesiman Kertalangu yang mendapatkan dampak dari berdirinya TPST baru di Denpasar. Beliau menuturkan bahwa masyarakat sudah berkali-kali protes bahkan demo agar TPST Biaung ditutup karena asap pembakaran dan bau pembuangan sampah sangat menyengat sampai ke rumah-rumah warga. Pak Agung dari PT. Bali CMPP sebagai penanggungjawab di TPST Biuang hadir dan menjelaskan bahwa ada kesulitan karena sampah dari masyarakat juga sampah lama, kemudian adanya penyesuaian mesin yang ternyata belum mampu memenuhi target olahan. Sisi lain, Pak Agus Muliana Kepala Desa Lebih menceritakan pengalamannya melakukan sistem pengelolaan berbasis sumber yang didampingi oleh PPLH Bali.
Sedikit-banyak anak-anak bisa mengambil pelajaran dari beberapa studi kasus tersebut bahwa pembangunan TPST idealnya lewat kajian terlebih dahulu. Jangan sampai terlalu dekat pemukiman warga sehingga mengganggu kesehatan mereka. Akibat aroma tidak sedap dari sampah maupun proses kompres sampah yang dilakukan dengan cara dibakar. Penting juga transparansi, dan partisipasi masyarakat. Tidak boleh yang namanya mengabaikan partisipasi warga setempat. Apalagi berbohong soal proyek pembangunan yang sebenarnya dikerjakan. Sebab, yang terdampak adalah warga pada akhirnya. Terakhir, pentingnya memperjuang hak atas lingkungan yang bersih, dan sehat seperti yang dilakukan Bapak Oka, dan warga Biaung lainnya yang melakukan protes lewat pemasangan balihonya.
Sumber: Dokumen Pribadi
Usai diskusi publik yang diselenggarakan atas kerjasama PPLH Bali dengan Nexus3 dan LBH Bali, khusus peserta Youth Zero Waste Bootcamp melanjutkan sesi presentasi kelompok hasil kunjungan TPA Suwung kemarin. Secara berurutan presentasi dimulai dari kelompok ekonomi, teknologi dan inovasi, sosial budaya, kesehatan masyarakat sampai dengan lingkungan. Tak sekadar presentasi, anak-anak kritis menanyakan temuan tiap kelompok. Kepada kelompok teknologi, dan inovasi misalnya, Mario asal SMAN 4 Denpasar bertanya, “Kalau teknologi pengolahan sampah semakin meningkat, tentunya teknologi untuk produksinya juga akan demikian. Bagaimana pendapat tim teknologi, dan inovasi? Padahal anggaran untuk sampah ini kita ketahui sedikit. Kurang dari dari satu persen”.
Di penghujung Youth Zero Waste Bootcamp hari kedua, anak-anak bersuka cita mengikuti team building. Aneka permainan dilakukan seperti benda keseimbangan, transfer bola, pesan berantai, menara, dan bola keranjang. Adapun tiap permainan yang dilakukan sebenarnya sarat makna yaitu membangun kekompakan, saling menghargai, tolong menolong dan melakukan hal mudah dan berkelanjutan. Pada permainan menara, misalnya, setiap anak diminta menyusun benda-benda yang melekat pada dirinya menyerupai menara. Seperti pada pergerakan nol sampah nan berkelanjutan, tiap orang mempunyai peran, dan tanggungjawabnya masing-masing demi tercapainya tujuan bersama. Dalam hal ini, tujuannya tentu lingkungan hidup yang berkelanjutan, dan mensejahterakan seluruh makhluk hidup. Tiga kelompok bergiliran menjadi pemenang, namun semuanya berhak mendapatkan buah manggis, dan rambutan sebagai hadiah.
Emang bisa kurangi plastik sekali pakai?
Pagi ini hari ketiga, di kantor PPLH Bali ditemani keributan. Bagaimana tidak, 24 peserta Youth Zero Waste Bootcamp tengah berdebat dengan mosi “Mungkinkah terjadi sekolah ekologis?” Terbagi menjadi dua kelompok possible dan impossible, masing-masing mereka mengungkapkan argumentasinya. “Impossible-lah buat sekolah menjalankan sistem zero waste. Khawatirnya nanti kantin sekolah tutup dan justru menimbulkan pengangguran. Kan tidak bisa buat olahan makanan bebas PSP. Padahal tidak semua siswa bawa bekal ke sekolah. Orang tua lho sudah pada sibuk. Mana belum semua sekolah punya tong sampah. Itu saja belum ada, gimana anggaran zero waste lainnya”, adu perwakilan kelompok impossible.
Tak mau kalah, perwakilan kelompok possible menimpali, “Lah? Bisa kok! Kan dari kemarin kita sudah dikasi contoh SD & SMP yang bebas PSP. Tidak boleh bawa ciki. Bawanya bekal dalam tumbler dan tepak makan. Kalaupun kantinnya belum zero waste sepenuhnya, kan bisa warga sekolah bisa bantu memilah sampahnya. Lalu, adakan sistem berbagi bekal dari teman-teman yang bawa bekal kepada teman yang tidak. Nantinya juga bisa dibantu pemerintah tuh untuk anggaran makan dan wadah ramah lingkungannya”.
Sengitnya persaingan pada sesi Pengenalan Program Sekolah Ekologis rupanya terbawa ke sesi “Pengenalan Sistem Guna Ulang di Indonesia”. Oleh Sri Junantari dari PlastikDetox, anak-anak diajak bermain kuis secara daring. Mereka berlomba menjadi yang terbaik demi reward yang dijanjikan Kakak Sri. Adapun pertanyaan kuisnya seperti apakah benda-benda sekitar terbuat dari alam, bagaimana cara berkesadaran dalam menggunakan barang, mengapa lebih baik mengurangi daripada melakukan daur ulang, dan lainnya yang masih seputaran itu.
Taksu atau singkatan dari TAKe-reuSe–retUrn yang merupakan sistem guna ulang andalan PlastikDetox tidak lupa diperkenalkan. Hal ini membuka khazanah anak-anak mengenai mungkinnya diberlakukan sistem guna ulang pada acara pertemuan, pasar komunitas, festival, dan lainnya. Dikarenakan tidak semua barang sifatnya sekali pakai. Makanya, penting untuk punya gaya hidup berkesadaran terutama dalam aktivitas konsumsi. Misalnya, ada keinginan untuk membeli air mineral botolan. Sebelumnya dipikirkan dulu mengenai air, dan kemasannya apakah sudah ramah dari aspek lingkungan. Bagaimana jika tidak ada urgensi, dan ada alternatif seperti membawa air dalam wadah tumbler dari rumah.
Akhirnya anak-anak berkesempatan belajar praktik di luar ruangan, ini masih di pelataran PPLH Bali. Setelah membagi diri menjadi empat kelompok, anak-anak secara bergilir mendatangi pos edukasi APP, WACS, WABA, dan kompos serta MOL. Setiap pos sudah ada fasilitator yang siap mengedukasi selama 20 menit per sesinya. Pada pos WABA misalnya, sudah disediakan timbulan sampah PSP dalam sebuah ember. Anak-anak diminta membongkarnya, mengelompokan sesuai merknya, menghitungnya, kemudian mendata dalam lembaran yang tersedia.
Setelah sejam lebih berpraktik, tiba saatnya anak-anak menyantap makan siang sebelum nantinya membahas rencana tindak lanjut. Mayoritas anak berencana akan menindaklanjuti pengaplikasian pemilahan sampah berbasis sumber dari lingkungan sekolah, maupun rumahnya. Beberapa anak yang tergabung dalam OSIS juga akan memanfaatkan organisasinya sebagai wadah edukasi lingkungan lewat program kerjanya. Rencana lainnya yang diutarakan anak-anak seperti membuat aturan bawa bekal makan sendiri ke sekolah, camping nol sampah, dan lainnya.
Youth Zero Waste Bootcamp pun ditutup dengan upacara kelulusan. Turut menyerahkan sertifikat kelulusan hadir pula perwakilan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Provinsi Bali dan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali. Tentunya anak-anak punya pandangan yang berbeda soal arti kelulusan dan rencana keberlanjutannya. Natha asal SMKN 2 Denpasar misalnya, mengamini Cokorda Raka Satrya Wibawa, ST., MM selaku Analis Kebijakan dan Ketua Bidang Olahraga dari Dinas Pendidikan Olahraga, dan Pemuda yang menyebutkan bahwa saat ini sampah berdampak negatif bagi masyarakat sehingga kehadiran anak muda sangat penting. Generasi muda diharapkan bisa segera mengambil tongkat estafet dan melangkah, mengimplementasikan gaya hidup nol sampah. Makanya, Natha sudah terpikirkan untuk membuat program OSIS baru berupa sistem pemilahan sampah di sekolahnya. Terinspirasi dari Zero Waste Cities, Natha berencana perlahan-lahan membuat sistemnya dahulu, lanjut ke perkenalan, dan edukasi. Baru terakhir pengimplementasian. Bagaimana dengan kamu? Apa rencana zero waste-mu?
Subscribe email untuk mendapatkan informasi terbaru dari kami