“Pendidikan bagi Masa Depan yang Berkelanjutan” 

Pusat Pendidikan lingkungan hidup bali

Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali PPLH Bali adalah Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat. Merupakan pengembangan dari PPLH Seloliman yang berdiri sejak tahun 1990. PPLH Bali dirintis sejak tahun 1997 setelah PPLH Puntondo – Makassar. Pendiri PPLH adalah Bapak drh. Suryo W. Prawiroatmodjo dan Hans Ulrich Fuhrke. PPLH Bali berbadan hukum dalam bentuk Yayasan.

VISI Kami

“Terwujudnya masyarakat sejahtera dengan pengelolaan lingkungan yang arif dan berkelanjutan”. 

ARTIKEL 

Kuliner Lokal: TRADISI NASI JINGGO BERDAUN PISANG 

 

 

 

Ada pertanyaan, “apa kamu sudah makan?”, kalimat ini kerap terdengar dari orang terkasih. Entah dari pasangan, orang tua, teman atau ehemm.. gebetan? Meski klise, nyatanya tiap dari kita memang butuh diingatkan makan. Secara umum, makanan merupakan kebutuhan pokok karena mampu menyediakan sumber energi ke tubuh makhluk hidup sehingga bisa menjalankan rutinitas. Makanan mengandung sejumlah nutrisi, substansi yang esensial dalam tumbung-kembang, perbaikan dan pemeliharaan jaringan tubuh dan juga meregulasi proses vital.
Berbicara makanan bukan satu-satunya arti dari sepiring makanan. Makanan bisa jadi gerakan dalam melawan krisis iklim. Bukan cuma pemilihan jenis makanan yang rendah emisi karbon atau tuntutan tidak menyisakan makanan, pembungkusnya pun turut menjadi perhatian. Sejak beberapa tahun terakhir, banyak pihak dari berbagai belahan dunia mencari teknologi dan inovasi yang mampu menghadirkan kemasan ramah lingkungan yang bisa ditanam, dikompos bahkan dimakan langsung. Sebut saja diantaranya ada kontainer yang bisa dikompos seperti merk Stalkmarket, World Centric, Ecotainer, Tellus, sedotan yang bisa dimakan milik Sorbos dan lainnya.

Teknologi terkini ada di sini

Berpikir untuk mengadopsi teknologi dan inovasi canggih tersebut? Eitss, tunggu dulu. Rupanya sedari dulu Indonesia sudah punya kemasan ramah lingkungannya sendiri. Teknologi dan inovasi itu bernama daun pisang. Pembungkus yang terkenal bisa menambah aroma sedap ke makanan ini digemari karena ketahanan lipat, dan sobeknya yang terhitung baik. Aroma sedap dan ketahanannya terhadap air dan minyaknya itu berasal dari lapisan lilinnya yang alami dan tidak mengandung zat kimia berbahaya. 
Men Sari, pedagang nasi jinggo yang ditemui langsung di lapaknya yang berada di Jalan Thamrin Denpasar pada 18 Januari 2024 lalu mengutarakan hal yang sama. “Pakai daun pisang bagusan. Sambalnya tidak merembes* kayak pakai kertas minyak. Pakai daun pisang bisa dicek-cek juga nasinya”, ujarnya.

 

Kelebihan lainnya dari daun pisang adalah sifatnya yang anti bakteri sehingga makin ideal dijadikan wadah makanan. Cukup membasuhnya dengan air mengalir atau lap bersih sebelum digunakan. Belum lagi, daun pisang mudah terurai dalam waktu singkat tanpa bantuan apapun.  

Daun pisang dan nasi jinggo

Tak salah mengapa banyak sajian nusantara otentiknya menggunakan daun pisang sebagai pembungkusnya. Salah satunya adalah sajian wajib masyarakat Pulau Dewata, nasi jinggo. Nasi jinggo yang merupakan nasi putih berisi lauk pauk dan sambal, lalu dilapisi daun pisang ini sudah ada sejak 1980-an. Pertama kali dijual oleh pasangan suami istri di Jalan Gajah Mada Denpasar, Bali. Tidak diketahui persis historisnya, namun ada tiga versi yang diyakini masyarakat.

Pertama, kata “jinggo” dari nasi jinggo berasal dari judul film "Djanggo" yang populer pada masa itu. Kedua, kata “jinggo” berasal dari Bahasa Hokkien yang berarti "seribu lima ratus", sesuai dengan harga pasarannya sebelum krisis moneter di Indonesia. Terakhir, kata “jinggo” berasal dari kata “jagoan”. Pernah ada sekumpulan pengendara motor yang suka berpelesir pada malam hari dan dikenal dengan sebutan “jagoan”. Dikarenakan mereka kerap singgah dan mengisi perut dengan nasi berbungkus daun pisang itu, lama-lama disebutlah sebagai “nasi jinggo”.
 
Kendati otentiknya menggunakan daun pisang, nasi jinggo beberapa tahun terakhir ini kemasannya mulai beralih ke kertas minyak. Tentu dirasa praktis karena pedagang tidak perlu memilah daun pisang dan membersihkannya dengan kain bersih sebelum membungkus makanan. Apalagi, untuk konteks Bali, fungsi daun pisang sebagai pembungkus makanan bersaing dengan kegunaannya sebagai sarana upacara keagamaan. Alhasil, daun pisang akan langka pada waktu-waktu tertentu. Belum lagi dengan harganya yang kian mahal.

Namun, nampaknya tak semua pedagang nasi jinggo terkendala dengan kelangkaan maupun kenaikan harga daun pisang. Men Sari yang sudah setia menggunakan daun pisang sebagai pembungkus nasi jinggonya selama 30 tahun berkata,“Daun pisang tinggal dicari di sini (melirik ke arah Pasar Kumbasari). Selalu dapat kok”. Beliau juga tidak keberatan dengan keuntungan yang hanya Rp 500 per bungkusnya. 
 
Serupa tapi tidak sama, Kadek Ari yang menyediakan nasi jinggo di angkringannya yang berlokasi di Pusat Kota Gianyar juga tidak masalah dengan penggunaan daun pisang sebagai pembungkus. Laki-laki yang sudah berjualan nasi jinggo bersama rekan-rekannya sejak 10 tahun yang lalu itu tengah sibuk menata barang dagangannya saat ditemui pada 20 Januari 2024. Sembari membuka dagangan, ia menjelaskan,“Semua yang pakai daun pisang ini bikin sendiri. Astungkara, masih untung. Daun pisangnya itu petik sendiri di rumah saudara di Payangan. Kalau kehabisan baru ibu beli ke pasar. Tapi, kalau beli di pasar itu daunnya sudah sobek-sobek”.
 
Bagi Kadek Ari, pembungkus daun pisang juga mampu membuat kehangatan makanan menjadi lebih awet. “Bagusan daun pisang. Sampai jam 10 malam masih hangat nasinya jadinya”, tutur Kadek Ari. Meskipun merasakan manfaat pembungkus daun pisang, Kadek Ari belum terbebas dari pembungkus kertas minyak. Sebagian nasi jinggo dagangannya menggunakan kertas minyak sebagai pembungkus. Alasannya, itu merupakan titipan dagangan dari orang lain. “Di sini jualannya 90% bikin sendiri, 10% barang titipan kayak yang ini-ini (menunjuk nasi ayam rendang dan nasi lawar babi yang berbungkus kertas minyak)”, tutupnya.
 

Nggak bahaya tah?

Bukan sekadar memudarkan warisan budaya, penggunaan kertas minyak sebagai bungkus nasi jinggo juga bisa berdampak negatif pada kesehatan dan lingkungan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam risetnya menemukan bahwa kertas minyak yang berasal dari proses daur ulang mengandung 1,5 juta koloni bakteri per gram. Dalam mengemas nasi jinggo, misalnya, memerlukan 70-100 gram. Bisa dibayangkan seberapa banyak bakteri yang ada? Iya, sekitar 105-150 juta bakteri. Bahkan pada kertas minyak yang non daur ulang masih dapat mengandung 400-an koloni bakteri. Dampaknya bagi kesehatan pun tidak tanggung-tanggung. Kanker, kerusakan hati, gangguan reproduksi hingga mutasi gen dapat dipicu olehnya. 
 
Meskipun  menurut LIPI kontaminasi tersebut dapat dicegah dengan plastik pelapis yang ditambahkan pada kertas minyak, namun pakar lainnya menyebutkan bahwa pelapis plastik pada kertas minyak justru mengandung senyawa Bisphenol A dan Petalite. Senyawa-senyawa itu akan terlepas begitu membungkus makanan bersuhu panas, dan bersifat asam atau berlemak. Bagi lingkungan pun kertas minyak menjadi ancaman. Plastik yang melapisi kertas minyak membuatnya tergolong sebagai kemasan multilayer. Kemasan multilayer perlu dipilah-pilah dahulu lapisannya sebelum didaur ulang. Dikarenakan prosesnya memakan banyak waktu, tenaga, dan biaya, berbagai industri daur ulang tidak menerima sampah kertas minyak. Alhasil, akan menjadi residu yang berakhir di TPA.
 
Singkat kata, daun pisang bisa menjadi kemasan makanan yang ideal. Dikarenakan memiliki ketahanan yang baik, memperkaya aroma makanan, aman untuk kesehatan dan lingkungan karena mudah dikompos. Namun, perlu diingat untuk tidak mencampur bekas pakainya dengan sampah anorganik agar mendapatkan kualitas kompos terbaik. Membudayakan penggunaan kemasan daun pisang berarti juga memberdayakan petani. Jadi, komposlah sampah daun pisang usai makan nasi jinggo ya.
 
 
 

Referensi:

Anisa Widiarini, “Bahaya Kertas Nasi, LIPI: Masyarakat Tak Perlu Khawatir”, Viva, 3 Mei 2018, diakses 22 Januari 2024, https://www.viva.co.id/gaya-hidup/kesehatan-intim/1032663-bahaya-kertas-nasi-lipi-masyarakat-tak-perlu-khawatir?page=2 
 
 “Asal Usul Nasi Jinggo, Nasi Kucing dari Bali Pemadam Kelaparan!”, Detik Bali, 25 September 2022, diakses pada 17 Januari 2024, https://www.detik.com/bali/kuliner/d-6310820/asal-usul-nasi-jinggo-nasi-kucing-dari-bali-pemadam-kelaparan 
 
 Aviaska Wienda Saraswati, “Plastik Multilayer Sulit Sekali Didaur Ulang”, Greeneration Foundation, 27 Juli 2023, diakses pada 22 Januari 2024, https://greeneration.org/publication/green-info/plastik-multilayer/ 
 
 “Food”, National Graphic Society, 4 Januari 2024, diakses pada 27 Januari 2024, https://education.nationalgeographic.org/resource/food/ 
 
 “Ini Hasil Penelitian LIPI Tentang Bahaya Kertas Nasi Bagi Kesehatan”, Sahabat Rakyat, 30 November 2016, diakses pada 18 Januari 2024, https://www.sahabatrakyat.com/nasional/kesehatan/ini-hasil-penelitian-lipi-tentang-bahaya-kertas-nasi-bagi-kesehatan/ 
 
 Luh Sri Astri Muliantari, “Daun Pisang dan Kertas Nasi”, Jurnal Post, 18 Desember 2020, diakses pada 22 Januari 2024, https://jurnalpost.com/daun-pisang-dan-kertas-nasi/15515/ 
 Muhammad Rama Agatta, “Perancangan Kemasan, Kemasan Sate, Uji Fungsi Kemasan, dan Uji Daya Terima Konsumen”, Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia, 2019.
 
Makanan Beralasan Daun Pisang, Ini Manfaat Sehat dan Kelebihannya”, Fimela, 10 Maret 20215, diakses pada 17 Januari 2024, https://www.fimela.com/beauty/read/3745645/makan-beralas-daun-pisang-ini-manfaat-sehat-dan-kelebihannya#:~:text=Bahkan%20daun%20pisang%20juga%20diklaim,timbulnya%20penyakit%20atau%20gangguan%20pencernaan.&text=Daun%20pisang%20memiliki%20lapisan%20lilin,untuk%20Anda%20yang%20susah%20makan. 
 
Nadia Farah, “3 Pembungkus Makanan Tradisional Ramah Lingkungan Pengganti Plastik & Styrofoam”, Econusa, 10 Februari 2022, diakses pada 17 Januari 2024, https://econusa.id/id/ecodefender/pembungkus-makanan-ramah-lingkungan/#:~:text=2.%20Daun%20pisang&text=Selain%20relatif%20mudah%20ditemukan%20dan,sedap%20ke%20makanan%20yang%20dibungkus. 
 
 Sri Anindiati Nursastri, “Pakar Toksikologi: Kertas Cokelat Pembungkus Makanan Mengandung Racun”, Kompas Sains, 2 Oktober 2019, diakses 18 Januari 2024, https://sains.kompas.com/read/2019/10/02/190900223/pakar-toksikologi--kertas-cokelat-pembungkus-makanan-mengandung-racun 

Partner

Subscribe email untuk mendapatkan informasi terbaru dari kami

 *