“Pendidikan bagi Masa Depan yang Berkelanjutan” 

Pusat Pendidikan lingkungan hidup bali

Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali PPLH Bali adalah Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat. Merupakan pengembangan dari PPLH Seloliman yang berdiri sejak tahun 1990. PPLH Bali dirintis sejak tahun 1997 setelah PPLH Puntondo – Makassar. Pendiri PPLH adalah Bapak drh. Suryo W. Prawiroatmodjo dan Hans Ulrich Fuhrke. PPLH Bali berbadan hukum dalam bentuk Yayasan.

VISI Kami

“Terwujudnya masyarakat sejahtera dengan pengelolaan lingkungan yang arif dan berkelanjutan”. 

ARTIKEL 

Heal Ourselves, Heal The Earth

 

 

Cause there were pages turned with the bridges burned.
Everything you lose is a step you take.
So make the friendship bracelets.
Take the moment and taste it.
You’ve got no reason to be afraid.
You're on your own, kid.
Yeah, you can face this.
You're on your own, kid.
You always have been  ♫⋆。♪ ₊˚♬

 

Begitulah lantunan lagu You’re On Your Own, Kid oleh Taylor Swift yang bercerita proses pendewasaan yang dilalui dengan rasa kesepian. Penyanyi asal Amerika Serikat itu memang populer dengan liriknya yang bermakna, dan menyentuh sanubari teman-teman Gen Z. Barangkali Gen Z familiar dengan lagu-lagunya atau bahkan datang ke salah satu tur dunianya yang bertajuk “The Eras Tour”?
Gen Z memang dikenal hobi melakukan healing dengan datang ke konser, dan festival. Apalagi musik yang dekat dengan keresahan mereka. Mulai dari kesehatan mental hingga krisis iklim.[1] Sekalipun pengertian healing di sini akan berbeda dengan penyembuhan mental yang dikemukakan dunia psikologi. Apalagi imbas dari pandemi Covid-19 yang membuat masa remaja mereka sejenak terkukung dengan social distancing sehingga kuantitas konser, dan festival menjadi melonjak. Tak salah bila hampir tiap bulan bisa menemukan pengumuman konser, dan festival yang mengundang selebritas lokal, nasional maupun internasional.[2]
 
Fenomena tersebut perlu disambut tangan terbuka. Tidak hanya menguntungkan musisi, namun perekonomian di Indonesia pun turut meningkat. Idealnya, tidak ada yang dirugikan dalam penyelenggaraan konser, dan festival musik ini. Namun, keadaan di lapangan menunjukan hal yang berbeda. Terjadi gunungan sampah hingga emisi karbon dalam jumlah yang tidak sedikit. Ketika artikel ini ditulis, belum ada penelitian yang menunjukan data timbulan sampah, dan emisi karbon dari festival, dan konser musik di Indonesia.
Akan tetapi, permasalahan tersebut berhasil ditangkap oleh berbagai media. Pada konser musik Head In The Clouds di Jakarta, misalnya. Konser yang digagas oleh 88 rising ini sempat viral di media sosial, Twitter karena tumpukan sampah jas hujan yang berserakan. Jas hujan memang diberikan cuma-cuma oleh panitia, namun penonton secara tidak bertanggung jawab membiarkannya di kawasan Community Park Pantai Indah Kapuk 2 itu.[3]
 
Di tengah hiruk pikuknya, konser, dan festival musik dengan klaim lebih ramah lingkungan pun muncul. Ada sejumlah judul konser, dan festival musik dengan metode ramah lingkungannya yang berbeda-beda. Keberadaannya untuk mengupayakan solusi patut diapresiasi. Di sisi lain, juga patut dipertanyakan. Apa benar klaim ramah lingkungannya?
 
Sebuah festival bertajuk Get The Fest 2022, misalnya. Get The Fest 2022 diklaim ramah lingkungan karena menggunakan konsep waste-to-energy. Dalam arti, sampah plastik diolah menjadi bahan bakar minyak sebagai sumber energi bagi kebutuhan transportasi maupun kelistrikan.[4] Jelas konsep ini keliru sebagai solusi lingkungan. Dikarenakan tidak banyak yang diubah dalam keseluruhan proses waste-to-energy ini. Sama saja dengan bakar sampah biasanya yang pada akhirnya menghasilkan abu yang beracun, dan emisi karbon.
 
Adanya unit yang mengontrol polusi udara yang membuat industri mengklaim ini ramah lingkungan nyatanya keliru, dan menyesatkan. Pembakaran sampah tetap akan menghasilkan gas rumah kaca seperti CO2, gas asam seperti HCl, HF, SO2, NOx, logam beracun seperti Pb, Cd, Hg, As, Cr, dan polutan organik persistens seperti PCDDs, PCDFs, dan PCBs. Semuanya itu tergolong dalam partikel ultrafine (UFPs), dan mikroplastik yang mengancam pertumbuhan, dan perkembangan makhluk hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan.[5]
 
Padahal konser, dan festival yang sungguhan ramah lingkungan itu sangat mungkin terjadi. Sebut saja ada konser Coldplay yang bertajuk “Music of the Spheres”, dan IKLIM Fest. Keduanya sama-sama diselenggarakan tahun lalu, namun apa yang membuatnya ramah lingkungan?
 
Coldplay sendiri mengusung konsep reduce, reinvent, dan restore dalam konsernya. Untuk reduce, Coldplay menargetkan pengurangan 50% jejak emisi karbon dari tur mereka sebelumnya dengan melakukan beberapa hal. Pertama, mengurangi penggunaan pesawat, dan beralih ke mobil listrik untuk berkendara. Akan tetapi, memang ada beberapa perjalanan yang membuat penggunaan pesawat tidak terhindarkan. Setidaknya, Chris Martin, dan tim memilih tidak menggunakan jet pribadi.[6]
 
Kedua, memberikan imbaun kepada penonton untuk naik transportasi umum menuju GBK. Supaya imbauan itu dapat berjalan, kendaraan pribadi tidak dapat memasuki kawasan GBK. Mereka dipaksa untuk melakukan drop off di luar.[7] Bahkan terjadi perpanjangan waktu operasi MRT dan bus transjakarta khusus untuk hari itu. MRT yang biasanya beroperasi hingga pukul 00.00 WIB berubah menjadi pukul 01.30 WIB. Waktu tunggu atau headway yang pun diperpanjang menjadi 10 menit yang sebelumnya hanya 5 menit Sementara itu, bus transjakarta yang sebelumnya berhenti beroperasi pada pukul 22.00 WIB, berubah menjadi 01.00 WIB.[8]
 
Sementara itu, reinvent adalah bentuk inovasi dalam pengurangan kerusakan yang timbul dari konser mereka. Sumber energi untuk melangsungkan konser didapat dari penggunaan panel surya, dan energi kinetik dari penggemar. Setiap loncatan yang dilakukan penggemar akan menyumbangkan sumber energi listrik ke konser. Tidak hanya itu, band asal Inggris itu juga berkolaborasi dengan BMW untuk menciptakan baterai rechargeable khusus yang bisa diisi ulang dengan biosolar, dan minyak bekas.[9] Terakhir, ada restore. Pelantun lagu Yellow ini mengembalikan hasil penjualan tiket mereka untuk penanaman pohon, pendanaan riset iklim, dan kerusakan lingkungan hingga dukungan pengadaan teknologi baru yang bisa mengurangi dampak kerusakan lingkungan.[10]
 
Dari sisi lokal, ada IKLIM Fest yang diselenggarakan di Monkey Forest Ubud. Pada kesempatan ini, KOPERNIK sebagai penggagas acara berkolaborasi dengan Music Declares Emergency Indonesia, dan Yowana Padangtegal meluncurkan album musik sonic/panic yang menggaungkan kesadaran terhadap iklim. Ada dukungan dari Dietplastik Indonesia pula dengan penerapan guna ulangnya.[11] Menariknya dari acara ini adalah penerapan protokol guna ulang itu sendiri. Wah, seperti apa tuh?
 
Diawali dengan pengumuman acara yang mengajak calon penonton untuk membawa tumbler, dan alat makan guna ulang mereka. Sejumlah banner ajakan kurangi penggunaan plastik sekali pakai, dan beralih ke peralatan guna ulang pun tersebar di kawasan festival. Ketika hendak memasuki arena utama penyelenggaraan festival musik, penonton harus melewati pemeriksaan keamanan. Tak hanya tidak boleh membawa narkotika, dan senjata tajam, mereka juga dilarang membawa apapun dalam kemasan plastik sekali pakai.
 
Dalam arena utama tersebut terdapat galon-galon air mineral di beberapa titik yang digunakan untuk isi ulang minuman. Tenant makanan yang berjualan pun bebas dari kemasan plastik sekali pakai. Mereka bekerja sama dengan unit usaha seperti Taksu, Alas, dan Balikin yang menyediakan alat makan guna ulang. Apapun pilihan makanannya, selalu ada alat makannya karena beneran selengkap itu. Ada sendok, garpu, piring, mangkok, gelas, dan cangkir. Susah nggak sih bikin festival musik dengan konsep begini?
 
“Karena ini memang masih hal yang baru baik untuk pengunjung maupun tenant food and beverage-nya, ataupun kita yang dari Dietplastik Indonesia. Jadi, masih banyak perlu penyesuaian. Juga teman-teman dari reuse operator-nya karena mungkin sebagian masih baru, sebagian sudah berpengalaman. Ini akan mempengaruhi berapa banyak wadah makanan yang akan kembali ke mereka. Koordinasi dengan tenant food and beverage-nya cukup intens juga selama acara. Mereka harus make sure apakah ready stock piring, sendok, dan garpu, misalnya, di sini. Kalau habis, berarti harus segera minta ke reuse operator. Karena kita masih sama-sama baru juga”, ujar Sarah dari Dietplastik saat ditemui secara daring (16/04/2024)
 
Usai makan, penonton tinggal menaruh kembali peralatan makan tersebut di drop point yang telah disediakan. Apabila masih menyisakan makanan, maka wajib membuangnya ke bak sampah organik. Pemilahan sampah juga menjadi salah satu aspek dalam protokol guna ulang. Tujuannya supaya sampah tidak berakhir ke TPA. Malahan, itu diolah kembali seperti sampah organik yang bisa diolah menjadi kompos.
 
“Sudah banyak banget narasi terkait masalahnya, dan sekarang harus mulai banyak, gencar terkait solusinya. Sebenarnya harus seperti apa. Karena kalau bicara solusi, banyak orang bicara recycle, recycle, recycle mulu. Padahal yang sebenarnya lebih efektif, dan minim konsekuensi lingkungannya itu adalah guna ulang. Jadi, si protokol guna ulang ini jadi cara kita untuk kasi tahu ke masyarakat, bahkan real-nya diterapkan itu seperti apa. Beneran lho guna ulang ini bisa menjadi solusi untuk mengurangi penggunaan sekali pakai”, jawab Sarah atas pertanyaan alasan dibalik hadirnya IKLIM Fest.

 

 

Bagaimana menurutmu, Sobat Lestari? Berkaca dari konser dan festival musik di atas, apa saja yang bisa mengindikasikan konser dan festival musik itu ramah lingkungan? Simak saja rangkuman berikut.
  1. Memperhatikan pemilahan sampah organik, anorganik, dan residu berikut dengan pengolahannya;
  2. Pembatasan penggunaan plastik sekali pakai, dan lebih menekankan pada penggunaan alat-alat guna ulang;
  3. Penyelenggara, musisi, dan penonton dihimbau untuk menggunakan transportasi umum yang aksesibel;
  4. Penggunaan lightstick, xyloband, dan sejenisnya yang tahan lama, dan tidak bersifat sekali pakai;
  5. Sumber energi kelistrikan renewable (energi terbarukan) misalnya panel surya;
  6. Penggunaan sumber daya secara efisien, dan efektif.
 
Healing Gen Z akan menjadi sempurna bila indikator di atas dapat dipenuhi, tapi rupanya masih jauh dari harapan. Jangan berkecil hati. Yuk mulai dari diri sendiri mengupayakan konsep ramah lingkungan ketika menghadiri konser, dan festival musik. Selalu membawa tumbler, wadah makan guna ulang, jajan secukupnya agar tidak menyisakan makanan. Menurut Gen Z, apalagi yang bisa kita upayakan saat nonton konser dan festival musik agar seimbang antara Heal Ourselves, Heal The Earth (menyembuhkan diri juga menyembuhkan alam)?

 

 

[1] Dwi Ayu Silawati, “9 Lagu tentang Keresahan Gen Z, Kesehatan Mental sampai Krisis Iklim”, IDN Times, 2 November 2022, diakses pada 13 April 2024, https://www.idntimes.com/hype/entertainment/dwi-ayu-silawati/lagu-tentang-keresahan-gen-z-c1c2
[2] Sandra Desi Caesaria, Ayunda Pininta Kasih, “Mengapa Gen Z dan Milenial Suka Healing? Pakar Beri Penjelasan”, Kompas, 26 Februari 2024, diakses pada 13 April 2024, https://www.kompas.com/edu/read/2024/02/26/152205871/mengapa-gen-z-dan-milenial-suka-healing-pakar-beri-penjelasan?jxrecoid=966400e8-6d5e-460f-ae4c-30d421b1dd4c~kg_internal&source=widgetML&engine=C
[3] Arini Nuraisa, “Sampah Jas Hujan Berserakan Di Akhir Konser HITC Jakarta, 6 Potretnya Tuai Sorotan”, Liputan 6, 5 Desember 2022, diakses pada 13 April 2024, https://www.liputan6.com/hot/read/5144517/sampah-jas-hujan-berserakan-di-akhir-konser-hitc-jakarta-6-potretnya-tuai-sorotan?page=2
[4] Anonim, “Get The Fest 2022, Sebuah Rangkaian Tur dan Konser Musik Berbahan Bakar Minyak, Hasil Olahan Sampah”, Get Plastic ID, diakses pada 9 April 2024, https://getplastic.id/get-the-fest-2022-sebuah-rangkaian-tur-dan-konser-musik-berbahan-bakar-minyak-hasil-olahan-sampah-plastik/#:~:text=Rangkaian%20tur%20dan%20konser%20musik%20yang%20disponsori,menggunakan%20bahan%20bakar%20hasil%20olahan%20sampah%20plastik.
[5] False Solutions To The Plastic Pollution Crisis, https://www.no-burn.org/resources/false-solutions-to-the-plastic-pollution-crisis/#:~:text=As%20the%20global%20plastic%20pollution,and%20perpetuating%20overproduction%20of%20plastic.
[6] Kanaya Lalita Ardhyaneshwari, “Konsep Sustainability Concert di Music of Spehere World Tour Coldplay”, Good News From Indonesia, 20 Juni 2023, diakses pada 9 April 2024,https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/06/20/konsep-sustainability-concert-coldplay
[7] Vincentius Mario, Andi Muttya Keteng Pangerang, “Konser Coldplay di Jakarta, 5 Pintu Masuk dan Imbauan Transportasi Umum”, Kompas, 15 November 2023, diakses pada 9 April 2024,https://www.kompas.com/hype/read/2023/11/15/112211066/konser-coldplay-di-jakarta-5-pintu-masuk-dan-imbauan-transportasi-umum?lgn_method=google&google_btn=gsi
[8] Lani Diana Wijaya, “Konser Coldplay Jakarta, Simak Jam Operasional MRT dan Bus Transjakarta Hari Ini”, Tempo, 15 November 2023, diakses pada 9 April 2024, https://metro.tempo.co/read/1796937/konser-coldplay-jakarta-simak-jam-operasional-mrt-dan-bus-transjakarta-hari-ini
[9] Anonim, “Konser Hemat Energy, Coldplay Gunakan Panel Surya untuk Tekan Emisi Karbon”, Solarhub, 6 Juni 2023, diakses pada 10 April 2024, https://blog.solarhub.id/konser-hemat-energi-coldplay-gunakan-panel-surya-untuk-tekan-emisi-karbon/
[10] Kanaya Lalita Ardhyaneshwari, “Konsep Sustainability Concert di Music of Spehere World Tour Coldplay”, Good News From Indonesia, 20 Juni 2023, diakses pada 9 April 2024,https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/06/20/konsep-sustainability-concert-coldplay
[11] Mosita, “IKLIM Fest Diselenggarakan di Bali 4 November 2023”, RRI, 3 November 2023, diakses 14 April 2024, https://www.rri.co.id/hiburan/428750/iklim-fest-diselenggarakan-di-bali-4-november-2023

Partner

Subscribe email untuk mendapatkan informasi terbaru dari kami

 *