artikel

Artikel Terbaru

20 SEKOLAH DI BALI MENJADI PERCONTOHAN

SEKOLAH  BEBAS PLASTIK SEKALI PAKAI 

Provinsi Bali telah memiliki 20 pilot project sekolah bebas plastik sekali pakai yang tersebar pada tiap kabupaten/kota.


REDESIGN TATA KELOLA PERSAMPAHAN DI BALI MENUJU PULAU ZERO WASTE

 

Bali menjadi salah satu provinsi yang responsif dalam penanganan masalah sampah. Langkah ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No. 97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai dan Pergub 47/2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Sayangnya kedua peraturan tersebut belum ditanggapi serius oleh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.

 

Lebih dari satu tahun setelah disahkannya regulasi terkait larangan penggunaan plastik sekali pakai dan pengelolaan sampah berbasis sumber di Bali, nyatanya belum mampu mengatasi permasalahan sampah di Bali dengan baik. Sangat mudah untuk menemukan sejumlah truck sampah menuju Tempat Pemroses Akhiran (TPA) yang masih membawa sampah tercampur. Begitu pula dengan kantong plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik, masih beredar di tengah-tengah masyarakat. 

 

Bukti terjadinya peningkatan timbulan sampah plastik sekali pakai di Bali terungkap dalam Lokakarya Kinerja Pelaksanaan Peraturan Gubernur Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai yang diselenggarakan pada 4 November 2020 di Sanur, Denpasar. Kepala Seksi Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Karangasem menyebut pada semester satu tahun 2019 volume kresek yang tercatat sebanyak 44.570 kg, meningkat menjadi 57.756 kg di semester berikutnya. Tidak hanya penanganan sampah plastik, volume sampah yang dikirimkan ke TPA juga meningkat. Pada tahun 2019, Kabupaten Karangasem mengirim sampah sebanyak 43,86 ton per hari ke TPA Linggasana, dan justru naik menjadi 50 ton per hari pada April 2020.

 

Terdata setidaknya lima faktor yang menyebabkan pengimplementasian regulasi penanganan masalah sampah di Bali menjadi tidak maksimal. Pertama, edukasi yang tidak maksimal. Selama pandemi ini, pelaksanaan kegiatan sosialisasi dibatasi. Hal ini menyebabkan sulitnya melaksanakan sosialisasi pengelolaan sampah ke masyarakat. Hal ini diungkapkan pula oleh Ketut Darmawan, Kabid Persampahan Kabupaten Klungkung dalam kegiatan Lokakarya Kinerja Pelaksanaan Peraturan Gubernur pada 4 November 2020. Beliau menyebukan bahwa sosialisasi belum masif, terlebih selama pandemi ini.

 

Faktor Kedua adalah anggaran biaya yang minim. Pada April 2020, seluruh pemerintah daerah melakukan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19. Pada kolom evaluasi situs Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali, menyebutkan bahwa sesuai kebijakan pemerintah pusat, APBD dilakukan refocusing kegiatan dan realokasi anggaran dalam penanganan Covid-19. Sehingga Pasca disahkannya Pergub Bali No 47/2019, kegiatan penanganan masalah sampah belum terlaksana secara maksimal.
 
Faktor Ketiga adalah terjadinya missing link dalam pengumpulan sampah. Pada acara Zero Waste Academy (ZWA) Set Up atau Pengaturan Akademi Nol Sampah yang diselenggarakan pada 20 September 2021 oleh YPBB, menyampaikan bahwa pada kegiatan pengumpulan sampah dari rumah ke TPS maupun TPA dilakukan secara sukarela oleh masyarakat. Sukarela yang dimaksudkan tersebut adalah tidak bisa “diatur”. Situasi ini tidak terlepas dari Faktor Keempat, yakni Penegakan aturan ditingkat desa. 
 
Persepsi di masyarakat terkait pengelolaan sampah hanya sekedar menghilangkan atau memindahkan sampah dari rumah tangga ke luar rumah. Tiap individu belum melihat bahwa masalah sampah sebagai tanggungjawab masing-masing. Begitupula dengan pemerintah desa dinas maupun adat yang tidak menjadikan permasalahan sampah sebagai prioritas program. Hal ini dapat diamati dari peraturan desa maupun desa adat yang masih minim mengatur terkait pemisahan dan pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga, serta alokasi anggaran yang kecil untuk program pengelolaan sampah. Alhasil, banyak sampah masih berakhir ke TPA dan lingkungan sekitar.
 
Dalam Pergub Bali No 47/2019 secara tegas menyebutkan menyebutkan bahwa Setiap orang dalam rumah tangga berkewajiban melakukan Pengelolaan Sampah yang dihasilkannya (Pasal 5 ayat 1). Bentuk pengelolaan sampah yang dimaksudkan tersebut dapat dilakukan dengan cara, menggunakan barang dan/atau kemasan yang dapat didaur ulang dan mudah terurai oleh proses alam, memilah sampah, tidak menggunakan plastik sekali pakai, mengolah sampah yang mudah terurai, menyetor sampah yang tidak mudah terurai oleh alam ke Bank Sampah, dan menyiapkan tempat sampah untuk menampung sampah residu (Pasal 5 ayat 2). Selain itu, perlu dibentuk sinergitas antara pemerintah desa dinas/kelurahan dengan desa adat.
 
Bentuk sinergitas yang dapat dilakukan yakni dalam pengelolaan sampah di sumber, dan penyusunan dan pelaksanaan ketentuan aturan desa baik adat maupun dinas secara konsisten. Selain itu, perlu adanya penerapan sanksi adat terhadap pelanggaran ketentuan aturan desa adat yang berlaku. 
 
Faktor kelima yang menyebabkan ketidakmaksimalan pengimplementasian Pergub Bali terkait pengelolaan sampah adalah ketiadaan pengawasan dalam penerapan program pengelolaan sampah. Seperti yang disampaikan oleh Rikrik Sunaryadi pada kegiatan Akademi Nol Sampah pada 29 September 2021, kegiatan monitoring ini sangat perlu dilakukan untuk mendapatkan data ketaatan pemilahan warga, dan data sampah yang terpilah dan terdiversi. Sejauh ini, kegiatan monitoring ini belum terlaksana. Pengelolaan sampah dinilai belum menjadi program prioritas untuk saat ini.
 
Redesign sistem dan tata kelola pengelolaan sampah perlu dilakukan untuk menindaklanjuti kelima faktor tersebut. Redesign sistem yang dapat ditiru melalui program Zero Waste Cities (ZWC) atau Kota dengan jumlah sampah yang sangat minim atau tanpa bahan buangan. Partisipan yang merupakan perwakilan DLH dari 5 Provinsi di Indonesia, yakni Bali, NTB, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Timur, menyampaikain minat mereka untuk segera menerapkan program ZWC di Kota/Kabupaten masing-masing.
 
Provinsi Bali yang diwakili oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Klungkung, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bangli, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Badung, Disperkim Kabupaten Karangasem, dan Dinas Lingkungan Hidup Jembrana menyatakan kesanggupan mereka untuk segera membenahi sistem pengelolaan sampah di masing-masing daerah mereka. Peningkatan program pengelolaan sampah yang sudah dan akan berjalan akan mengikuti konsep program Kota Nol Sampah. Seperti halnya yang disampaikan oleh Wayan Sukarba.
 
Wayan Sukarba, Disperkim Karangasem menyebutkan Karangasem memiliki mega project yang akan mengelola seluruh sampah di Karangasem melalui program RDF/SRF. Sampah yang dihasilkan dapat dikelola walaupun dalam keadaan tercampur. Program ini masih terkendala di proses perizinan. Selain itu, Wayan Sukarba menyampaikan bahwa program tersebut tidak sejalan dengan Pergub Bali No 47/2019 bahwa sampah harus dipilah dan dikelola di sumbernya. Program Kota Nol Sampah yang disampaikan dalam Akademi Nol Sampah dilihat sebagai program yang ideal untuk diterapkan di Karangasem. Setelah selesai mengikuti Akademi tersebut, Kepala Disperkim akan menghadap Bapak Wakil Bupati terkait proposal pengelolaan sampah berbasis sumber dengan meniru konsep Kota Nol Sampah.
 
Terdapat delapan tahapan dalam menjalankan Kota Nol Sampah yang dapat diikuti untuk memulai redesign sistem pengelolaan sampah di tingkat Kabupaten. Kedelapan tahapan tersebut adalah Profiling, Desain Sistem, Pelatiihan dan Konsultasi, Penyiapan Sarana Pengumpulan dan Pengkomposan, Pelatihan untuk Petugas, Edukasi ke Rumah-rumah, Uji Coba dan Pengangkutan ke Rumah-rumah, Monitoring dan Evaluasi.
 
Kegiatan Profilling yang perlu dilakukan melalui survei Waste Analysis Characteristic Studies (WACS), Awareness Perception Practices (APP), Waste Analysis Brand Audit (WABA).  Survei ini bertujuan untuk mengatahui volume dan jenis sampah, dan persepsi masyarakat terhadap permasalahan dan pengelolaan sampah di lingkungan tempat mereka. Hasil dari profiling tersebut akan digunakan untuk melaksanakan tahapan kedua, desain sistem. Desain sistem pengelolaan dan pendampingan masyatakat akan disesuaikan dari hasil survei profiling yang telah dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar sistem yang akan diterapkan sesuai dengan kondisi dan keadaan setempat.
 
Ketika desain sistem telah terbentuk, maka hasil tersebut perlu disosialisasikan kepada pemangku kepentingan yang tinggal di wilayah binaan. Tidak hanya sosialisasi, para pemangku kepentingan juga diberikan pelatihan dan pembinaan atau konsultasi secara intensif. Hal ini dilakukan untuk menyamakan persepsi seluruh pemangku kepentingan. Sebelum disebarluaskan kepada seluruh masyarakat, sehingga perlu menyiapkan armada dan tempat yang akan dijadikan penampungan dan pengelolaan sampah yang sudah terpilah. Alat- alat penunjang keberlangsungan program harus dipastikan keberadaannya dan disesuaikan dengan hasil profiling yang telah dilakukan.

 

Hal lain yang tak kalah penting untuk disiapkan adalah Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang diperlukan yakni petugas angkut, sopir, dan kader. Para SDM ini juga perlu mendapatkan pelatihan dan edukasi. Para SDM inilah yang nantinya akan menjadi tim edukator dan monitor kegiatan. Materi yang harus disampaikan kepada SDM ini adalah sistem pemilahan dan pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga. Materi ini harus dapat disampaikan dengan baik ke masyarakat dalam kegiatan door to door education (DTDE) atau sosialisasi ke rumah-rumah.

 

Setiap masyarakat harus dipastikan untuk mengetahui program dan sistem baru yang telah dirancang dan disepakati untuk dilaksanakan. Sebelum melakukan DTDE, masyarakat dapat dikumpulkan dalam forum untuk mendapatkan pengetahuan umum sistem yang telah dirancang. Untuk edukasi intensif akan dilaksanakan pada kegiatan DTDE.
 
Kegiatan edukasi dan pelatihan ini merupakan upaya untuk menyakan persepsi kepada seluruh stakeholder. Ketika semua informasi telah disampaikan, maka perlu dilakukan uji coba melalui pengangkutan sampah ke rumah-rumah atau door to door collection (DTDC). Dari kegiatan inilah akan diketahui apakah masyarakat telah mengikuti sistem yang telah dirancang atau belum.
 
Tahapan terakahir yang harus dilakukan adalah monitoring dan evaluasi. Kegiatan monitoring dapat dilaksanakan oleh representasi pemangku kepentingan setempat, yakni pemerintah, masyarakat, kader, petugas angkut, dan tim fasilitator. Dengan adanya kegiatan monitoring dan evaluasi ini akan sangat membantu dalam pengelolaan program pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan.
 
Program pengelolaan sampah yang berkelanjutan dapat terjadi melalui sinergi yang baik bagi seluruh pemangku kepentingan. Menindaklanjuti ke delapan tahapan ZWC di atas, sinergi tersebut dapat dimulai melalui kegiatan rencana aksi, diantaranya, Pengesahan Perarem dan Peraturan Desa yang mengatur tentang pemisahan dan pengelolaan sampah di sumber, dan sanksi yang diberlakukan. Setiap desa harus memiliki peraturan sebagai respon Pergub Bali dan disosialisasikan kepada seluruh masyarakat. Rencana aksi yang juga harus dilakukan adalah kolaborasi Pemerintah Adat dan Dinas dalam hal penyediaan tempat pengumpulan dan anggaran operasional, dan dibentuknya tim monitoring yang terdiri dari representasi masyarakat, pemerintah, dan fasilitator. 
 
Program Kota Nol Sampah bukan sebuah keniscayaan, melainkan sebuah harapan demi terwujudnya sistem tata kelola persampahan yang optimal. Apabila seluruh tahapan pelaksanaan program dapat dilaksanakan dengan sesuai, maka sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan dapat terealisasi dengan baik. Sehingga saat ini perlu dibentuk sebuah komitmen dan sinergi seluruh pemangku kepentingan yang ada, baik pemerintah, masyarakat, swasta, maupun LSM untuk mempercepat terwujudnya nol sampah di seluruh daerah di Bali khususnya.
 
Tatik Rismayanti

Subscribe email untuk mendapatkan informasi terbaru dari kami

 *